Suasana Halal Bihalal di IKIP Siliwangi terasa berbeda ketika Prof. Dr. Uman Suherman, AS, M.Pd. menyampaikan ceramahnya. Dengan gaya khas Sunda yang hangat dan penuh canda, beliau membawa audiens merenungkan makna Ramadan dan bagaimana seharusnya bulan penuh berkah itu memberi dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Prof. Uman, Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi latihan spiritual untuk menjadi pribadi yang lebih baik—dan latihan itu seharusnya tidak berhenti di bulan Syawal. “Puasa téh lain ukur nahan lapar, tapi kudu jadi sarana ngajarkeun diri pikeun leuwih sadar, leuwih tulus, jeung leuwih deukeut ka batur,” ujarnya.
(Puasa itu bukan sekadar menahan lapar, tapi harus menjadi sarana untuk mendidik diri agar lebih sadar, lebih tulus, dan lebih dekat dengan sesama.)
Halal bihalal, dalam pandangannya, adalah momen untuk menguji hasil dari latihan batin itu—apakah hati kita sudah lapang untuk memaafkan, dan tangan kita siap menjalin kembali hubungan yang sempat renggang. Ia menyampaikan bahwa dalam tradisi Sunda, silaturahmi bukan hanya pertemuan fisik tapi juga pertemuan hati. “Halal bihalal téh tina leungeun nyampeurkeun hate,” katanya.
(Halal bihalal itu dari tangan menyambungkan hati.)
Beliau mengingatkan, sering kali manusia lupa bahwa hidup ini tidak bisa dijalani sendirian. “Urang téh moal bisa hirup sorangan. Nu bisa ngaronjatkeun urang téh batur,” katanya.
(Kita itu tidak bisa hidup sendirian. Yang bisa mengangkat derajat kita adalah orang lain.)
Dengan gaya khasnya yang penuh humor, beliau menyentil fenomena akademisi yang terlalu bangga pada gelar, namun lupa menyapa sesama. “Ayeuna mah judul akademik panjang, tapi ngajawab salam waé hésé,” katanya.
(Sekarang banyak yang gelarnya panjang, tapi untuk sekadar menjawab salam saja susah.)
Pesan terbesarnya adalah bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya soal akademik, tapi soal akhlak. Keteladanan, kepedulian, dan kebersamaan menjadi nilai utama yang justru diuji pasca-Ramadan. Ramadan bukan akhir, tapi awal untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Ia mengutip pepatah yang sangat dikenal: “Khairunnas anfa’uhum linnas.”
(Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.)
Di akhir ceramah, Prof. Uman menegaskan bahwa nilai-nilai Ramadan seharusnya menjadi bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari—dengan penuh empati, kejujuran, dan kepedulian. Halal bihalal bukan sekadar tradisi tahunan, tapi momentum untuk meneruskan semangat Ramadan dalam tindakan nyata: saling mendoakan, memaafkan, dan menguatkan.